Menyaksikan putra-putri kita tumbuh beranjak dewasa, terbersit dua rasa : bangga dan risau. Bangga karena sosok anak kita merupakan wujud perjuangan kita. Wujud fisiknya yang gagah atau elok, kecerdasannya, kelincahannya, dan sebagainya yang melengkapi sosok utuh anak kita. Hingga seusianya kini, telah kita lalui dengan segala susah payah disertai pengorbanan yang tidak sedikit, baik moril maupun materiil.
Rasa bangga yang muncul pada kita kadang melebihi yang dirasakan anak kita. Lalu muncul gambaran-gambaran ideal seperti apa seharusnya dia. Nah, ego kita mulai bermain untuk membentuk anak sesuai gambaran ideal tersebut. Apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan, apa yang seharusnya diikuti dan tidak diikuti, dan banyak rambu-rambu lainnya.. Biasanya disinilah konflik mulai timbul antara kita dan anak, ada yang cuma konflik ringan hingga yang kelas berat.
Rasa yang satu lagi, risau karena kita tidak pernah bisa memastikan akan jadi apa kelak mereka setelah dewasa. Juga risau apakah semua nilai-nilai yang kita tanamkan mampu membendung hal-hal negatif yang muncul dari lingkungannya. Upaya maksimal yang kita lakukan tidak bisa menjamin mereka akan seperti yang kita harapkan. Banyak hal terjadi di luar kendali kita.
Kadang kita sering dibuai oleh pendapat normatif bahwa bila si anak memperoleh pendidikan yang baik di rumah, memperoleh teladan yang baik dari orang tuanya, diperkenalkan kepada lingkungan yang sehat, maka si anak juga akan tumbuh dengan baik secara mental. Apakah itu semua sudah betul-betul jaminan ? Kita tahu tidak demikian. Karena anak bukanlah benda yang bisa dibentuk-bentuk seperti itu. Semua yang kita kondisikan jelas akan memiliki pengaruh, namun bukan berarti harus persis seperti yang orang tua inginkan.
Belum lagi pengaruh lingkungan, baik lingkungan pergaulan di rumah, di sekolah, serta di organisasi luar sekolah. Di usia remaja, pengaruh lingkungan ini terkadang bisa mencerai-beraikan semua tatanan moral yang sudah kita bentuk sedari kecil. Tahapan usia yang rawan, masa anak mulai mencari identitas diri, masa pemberontakan jiwa mulai menampakkan diri. Maka konflik pun mulai muncul.
Akhirnya rasa bangga dan risau bisa berujung pada konflik. Betapa menyedihkan jika memikirkan hal ini. Namun tentunya hal ini bukan akhir dunia. Banyak kita jumpai hubungan orang tua – anak yang baik-baik saja, tanpa perlu berkecamuk perang. Tapi hati-hati, hal itu belum tentu juga menandakan kebaikan. Kadang kondisi tenang karena orang tua demikian dominan dan sang anak hanya bisa menurut tanpa berani membantah. Saya pribadi tidak menyukai situasi seperti ini. Atau sebaliknya orang tua terlampau mengalah karena amat sayang pada anak. Juga bukan kondisi yang sehat menurut saya.
Lalu harus bagaimana ? Tidak ada jawaban yang sama yang berlaku untuk setiap orang. Namun puisi Kahlil Gibran berikut kiranya patut menjadi bahan renungan. Gibran memberi batas yang tegas antara posisi orang tua dan anak, melalui pengandaian busur dan anak panah.
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.
Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.
Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.
Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.
Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.
Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.
Cara Mendidik Anak : Suatu Diskusi Kecil.
14 tahun yang lalu
2 Comments:
dulu, sebelum menikah, saya telah merisaukan hal ini. sekarang? kerisauan ini Insya Allah lebih terkelola setelah menemukan Sang Pemanah itu; yaitu Yang Maha Menguasai Hidup manusia.
salam kenal. trims utk posting yg sangat menggugah ini.
test dahulu.... untuk commentnya
Post a Comment