Hari ini saya belajar memahami betapa posesifnya manusia. Kebetulan lewat, tadi pagi saya mampir sebentar ke rumah salah seorang kawan. Ngobrol di beranda bersama kawan tsb dan istrinya, mengomentari halaman rumahnya yang cukup luas. Anakmu bukanlah milikmu, Mereka lahir lewat engkau, Berikanlah mereka kasih sayangmu, .................................................................... ..................................................................
”Kalau ditata dengan tanaman, kelihatannya bagus nih Mas ! ujar saya. Istri kawan saya yang menimpali, ” Maunya sih begitu Bang, tapi kurang sreg di hati, lha wong di rumah ini kami cuma ngontrak” ”Dibeli saja to mbak yu, khan sudah cukup lama tinggal disini”, ujar saya mengikuti logat jawanya. ”Sudah masuk tahun ke lima. Tapi kelihatannya yang punya rumah belum niat njual, kami juga belum cukup duitnya”. Kali ini sang suami yang menjawab sambil tertawa. Saya cukup akrab dengan mereka, jadi bisa bicara lepas tanpa sungkan.
Obrolan sekilas tadi mengingatkan saya kepada sikap istri saya sendiri, yang sering mengkritik saya jika memberi makan kepada burung liar yang kadang mendatangi halaman belakang rumah kami. ”Milik kita juga bukan !”, katanya. Sikap yang sama bahkan saya jumpai pada kebanyakan orang. Yaitu adanya rasa kurang sreg, kurang nyaman, atau kurang pas dihati, bila harus merawat sesuatu yang bukan atau belum menjadi miliknya. Alasannya macam-macam. Sia-sia saja nantinya juga diambil yang empunya asli, rasanya tidak dalam kendali 100%,serta segudang alasan lainnya. Bahkan sebagiannya lagi tak bisa menggambarkan secara persis apa alasannya. Pokoknya enggak sreg aja !
Kebanyakan alasannya bukan materi, tapi lebih dominan masalah rasa sreg di hati. Seperti mengurus halaman, bisa dilakukan dengan pengorbanan yang kecil saja, bahkan bisa jadi sarana refreshing. Hasilnya bisa dinikmati tiap hari selagi belum ditinggal pergi. Begitu juga dengan burung liar. Meski burung liar, kadang bisa dilihat dan didengar kicaunya saat santai di halaman belakang. Mau apa lagi
Kadang terlintas di hati, mengapa kita tidak berfikir untuk memelihara saja, tanpa harus memiliki. Memelihara dan terus memelihara, apa saja yang ada di sekitar kita, apa saja yang dalam kemampuan kita, semua yang dikaruniakan Allah kepada kita di dunia. Kalau difikir lebih jauh lagi, apa sih di dunia ini yang benar-benar milik kita ? Semuanya juga hanya pinjam, hanya menyewa, hanya ngontrak. Begitu kita mati, selesailah masa pinjam kita. Hanya masalah lama atau sebentar kita menikmatinya, yang justru sepenuhnya dalam kuasa Allah.
Termasuk juga dengan sosok yang paling dekat dengan kita, 'anak'. Apa sih makna kata-kata 'memiliki anak' itu ? Hati-hati, rasa posesif kita yang berlebihan seringkali merusak hubungan kita dengan anak. Penggalan puisi karya Gibran berikut rasanya cukup pas menggambarkannya.
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Cara Mendidik Anak : Suatu Diskusi Kecil.
14 tahun yang lalu
0 Comments:
Post a Comment