Seorang kawan saya, Fahmi, yang supervisor di sebuah perusahaan curhat tentang pekerjaannya. Katanya dia diminta oleh atasannya agar lebih memperhatikan detail kerja bawahannya. Bukannya tidak mau, kawan saya ini merasa bahwa dia mesti mengawasi banyak orang dan mesti memperhatikan keseluruhan peran unitnya. Belum lagi hubungannya dengan unit kerja lain. Dia merasa akan tidak efektif bila mengurus terlalu detail suatu permasalahan.
Lain lagi kasus Iwan, kawan saya yang koordinator teknisi di satu perusahaan elektronika. Dia justru di tegur atasannya karena terlalu asyik bila menangani suatu proyek, sampai lupa mengkoordinir tugas teknisi lain yang dalam tanggung jawabnya. Maklum Iwan ini memang mulai dari bawah, dan menyukai pekerjaannya bukan sebatas tugas saja tapi juga hobi. Lalu bagaimana sebaiknya saran untuk kedua rekan ini ?
Bekerja di level supervisor memang pekerjaan penuh tantangan. Supervisor berhadapan langsung dengan para pekerja, yang kadang beragam level pendidikan dan berupah paling rendah di struktur perusahaan. Bukan hanya masalah pekerjaan, kadang masalah rumah tangga juga dibawa sampai ke kantor. Hubungan kekeluargaan lebih dominan mewarnai tugasnya, dan membutuhkan banyak empati.
Di sisi lain, supervisor juga mesti memahami permasalahan seluruh unit kerjanya. Karena berada di level operasional, unit kerja yang terkait juga banyak. Dan satu lagi, biasanya merupakan tempat penghasilan perusahaan digantungkan, tempatnya uang dicetak kata teman saya. Bila terjadi penurunan kinerja perusahaan, di posisi ini seringkali menjadi tempat tumpuan kesalahan.
Kepada dua kawan saya ini, yang kebetulan datang pada waktu berlainan, saya tunjukan sebuah poster promosi produk berukuran agak besar, tertempel di dinding yang lumayan jauh jaraknya dari tempat kami duduk. Saya minta mereka membaca tulisan-tulisan kecil di dalamnya. Tak terbaca. Karena mereka tak bisa juga membacanya meski sudah berupaya keras, maka saya hanya meminta mereka agar menjelaskan tentang poster itu sebatas apa yang bisa mereka tangkap, termasuk lingkungan sekitar poster.
Agar kedua kawan saya ini tidak protes dan bertanya-tanya, saya bilang bahwa ini hanya game kecil saja. Sambil duduk santai, mereka menjelaskan gambaran besar poster itu, warna garis tepinya, apa yang tertempel di kanan-kirinya, bahkan perkiraan ketinggian poster itu dari lantai. Setelah selesai, selanjutnya saya ajak mereka mendekati poster.
Di depan poster, saja minta mereka lebih mendekat agar detail gambar terlihat jelas, bukan sekedar bisa membaca tulisannya. Selanjutnya saya minta mereka mengatakan apakah garis tepian poster terlihat seutuhnya ? Ternyata tidak. Dengan wajah tetap lurus menghadap poster, saya minta pendapat mereka tentang benda yang ada di kiri-kanan poster dan lain-lain di sekitar poster yang tadi mereka uraikan saat memandang dari jarak jauh. Bagaimana perbedaan yang dirasakan.
Kedua kawan saya ini saya ajak bermain perspektif. Kepada kawan saya Fahmi yang supervisor, saya sampaikan bahwa saya maklum jika dia tidak ingin kehilangan perspektif terhadap peran unitnya di dalam perusahaan. Namun jika dia mengabaikan rincian, mengabaikan kedekatan, maka dia bisa terasing di unitnya. Akan banyak persoalan tidak dipahami akar permasalahannya, dan kalau bawahannya bermental kurang baik bisa-bisa dia akan banyak dibohongi mereka.
Kepada kawan saya Iwan yang koordinator teknisi, saya sampaikan bahwa kalau saya jadi atasannya saya juga akan berbuat sama. Dia telah banyak kehilangan perspektif unit kerjanya, terlalu asyik dengan kesenangannya. Jika diajak bicara topik yang bersifat lebih manajerial pastilah dia akan tergagap-gagap. Dukungannya terhadap unit lain juga akan terganggu, bahkan bisa dibilang sering ’gak nyambung’. Sebagai bagian dari tim, Iwan bukan pemain tim yang baik, karena dia tidak akan banyak tahu apa kebutuhan rekan satu timnya di level supertim (perusahaan).
Kalau di perusahaan saya, kasus Fahmi biasanya terjadi pada pejabat yang menduduki jabatannya karena faktor pendidikan, namun kurang pengalaman. Sedangkan kasus Iwan biasanya terjadi pada pejabat yang merangkak dari bawah, pendidikan terbatas namun kaya pengalaman. Tentu saja tidak harus seperti itu, hanya ada kecenderungan demikian.
Dengan bermain perspektif, memahami kapan harus mendekati poster, serta kapan harus menjauhinya, diharapkan lebih banyak aspek terjembatani. Tahu gambaran besar poster serta lingkungan dimana dia ditempel, tapi juga bisa memahami apa isinya secara lebih detail bila diperlukan. Demikian tujuan permainan perspektif ini. Saya sering menerapkannya dalam tugas keseharian saya.
Cara Mendidik Anak : Suatu Diskusi Kecil.
14 tahun yang lalu
0 Comments:
Post a Comment